Sabtu, 06 November 2010

Kemacetan Di Jakarta


Kemacetan di Jakarta makin hari makin parah. Jika tidak segera ditanggulangi, Jakarta akan mengalami lumpuh total. Kementerian Pekerjaan Umum menilai masalah kemacetan di Ibu kota Jakarta idealnya diselesaikan dengan memperbaiki layanan transportasi umum termasuk menambah jumlah armada Transjakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga diimbau untuk membuat pemetaan kawasan di Ibukota yang selalu mengalami kemacetan parah serta menerapkan traffic management yang lebih baik.

"Saya kira jawaban yang seharusnya diselesaikan adalah transportasi umumnya harus dibuat enak, sehingga orang merasa nyaman naik bis dan masyarakat tidak selalu berminat naik mobil sendiri,"  kata Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, di sela rapat koordinasi Kementerian Perekonomian, di kantor Menko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis 29 Juli 2010.

Menurut Djoko, permasalahan kemacetan di Jakarta tidak hanya bisa diselesaikan melalui pembangunan ruas jalan baru. Sebab, penambahan ruas jalan justru akan membuat masyarakat tertarik untuk membeli kendaraan bermotor. Selain itu, penambahan ruas jalan di Jakarta saat ini sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Demikian pula dengan pembangunan jalan bertingkat.

Sekarang ini, sepeda motor adalah kendaraan yang banyak sekali pemakainya di ibukota ini dan seringkali dituding sebagai penyebab kemacetan. Jika dilihat dari atas pada jam sibuk, akan terlihat seperti semut yang bersliweran menyerbu ke satu titik. Banyak sekali sepeda motor yang melanggar aturan.

Namun tidak dapat dipungkiri, untuk melewati kemacetan yang teramat sangat menggila di Jakarta, sepeda motor adalah kendaraan yang sangat efektif. Jauh lebih cepat dari pada mobil yang seringkali terjebak kemacetan Jakarta. Dengan kredit motor yang semakin mudah dan murah, membuat ribuan orang mampu untuk memiliki motor. Banyak pula yang beranggapan bahwa menggunakan sepeda motor lebih irit.

"Sekarang itu pertumbuhan jalan dan kendaraan memang sangat berbeda. Untuk motor saja sudah sampai puluhan ribu unit dan setiap hari bertambah," ujar Djoko.

Kalaupun dilakukan penambahan ruas jalan, dia melanjutkan, hal itu bisa dilakukan dengan menyelesaikan ruas jalan tol lingkar luar Jakarta tahap II. Jalan bebas hambatan ini diharapkan bisa mengalihkan pengguna kendaraan yang harus melalui pusat-pusat kemacetan.

Jika hanya mengandalkan pengembangan transportasi massal, dipastikan upaya mengatasi kemacetan tidak akan terselesaikan sama sekali. Sebab, saat beroperasi melayani warga Jakarta, transportasi massal ini membutuhkan jaringan jalan yang baru dan tidak bisa menggunakan jaringan jalan yang sudah ada. Karena beban jaringan jalan eksisting sudah terlampau berat menampung jumlah kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum yang setiap hari terus bertambah banyak.

Menurut Azas Tigor Untuk itu, upaya mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta diperlukan tiga upaya yang sinergis dan harus dilakukan secara bersamaan. Yaitu, harus dilakukan pengembangan, pembangunan dan peningkatan layanan transportasi massal, pembangunan jaringan jalan baru, dan mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi.

“Jaringan jalan baru juga harus dibuat untuk mengatasi pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi yang bertambah banyak. Saat ini perbandingan pertumbuhan keduanya yaitu satu berbanding sembilan persen untuk kendaraan pribadi,” ujarnya. Artinya, setiap hari pertumbuhan kendaraan bermotor seperti sepeda motor bisa mencapai 800-900 unit per hari, sedangkan mobil mencapai 300 unit per hari. Sehingga kalau tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur jalan, kemacetan juga tidak akan teratasi dengan baik. Meski transportasi massal dan pembangunan jaringan jalan baru sudah dilakukan, namun Pemprov DKI tidak melakukan pengendalian penggunan kendaraan pribadi, kemacetan juga tidak bisa diuraikan.

Jika solusi-solusi di atas masih belum bisa mengurangi kemacetan, maka upaya terakhir adalah pemindahan Ibukota. Tujuh pakar dari berbagai bidang telah berkomentar mengenai wacana pemindahan Ibukota. Dari tujuh itu, hanya satu yang secara tegas menolak usul pemindahan.

Marco Kusumawijaya

Pakar yang menolak usul pemindahan itu adalah Marco Kusumawijaya, Direktur Rujak Center for Urban Studies. Arsitek yang sering dimintai komentar soal tata kota ini berpendapat, pemindahan Ibukota dari Jakarta tidak perlu.

"Masalah-masalah Jakarta dapat diperbaiki dengan biaya lebih kecil daripada ongkos memindahkan Ibukota jika tujuannya adalah untuk membikin pemerintahan nasional berfungsi lebih baik," kata Marco di akun Twitternya, Selasa 3 Agustus 2010 lalu.

Fungsi yang dimaksud Marco adalah fungsi mengelola kepadatan Jakarta. Jakarta tidak lebih padat dari Tokyo, namun terbukti Ibukota Jepang ini berhasil mengelola lalu lintasnya sehingga tidak seruwet Jakarta. Marco juga menyebut, Jepang yang merupakan salah negara terpadat di dunia itu justru juga negara dengan tutupan hutan paling besar persentasenya.

Andrinof Chaniago

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini adalah pendukung kuat pemindahan Ibukota. Andrinof yang mendalami kebijakan publik ini menyatakan, daya dukung Pulau Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya tak memadai lagi untuk Ibukota.

Andrinof menyatakan, satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat.

"Kalau tak ada keputusan politik untuk pindah Ibukota, kita mungkin menghadapi ledakan sosial seperti Mei 1998," kata Andrinof pada Kamis 29 Juli 2010. Solusinya bagi Andrinof, Ibukota harus dipindahkan ke sebuah kota baru di Kalimantan.

Yayat Supriyatna

Planolog dari Universitas Trisakti, Jakarta, ini mendukung upaya pemindahan Ibukota dari Jakarta. Menurut Yayat, Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang untuk menjadi Ibukota dengan skala sebesar sekarang. Dari sekadar kota perdagangan, kemudian harus menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar. "Akhirnya apa yang terjadi?" kata Yayat. "Fungsi dan perannya tidak jelas."

Sebagai pusat pemerintahan, beban itu bertambah dengan paradigma pemerintahan Orde Baru yang sentralistis. Pembangunan dirancang di Jakarta sehingga menjadi bias. "Kota ini lalu menjadi daya tarik yang besar bagi penduduk di luarnya," kata Yayat. "Ujung-ujungnya, apa-apa Jakarta, tidak terpikir mengembangkan daerah-daerah di sekitarnya."

Dan beban berlebihan itu baru terasa dekade belakangan. Jakarta mengalami kemacetan. Jakarta kekurangan air bersih namun di lain pihak kebanjiran di saat hujan sebentar. Lingkungan hijau juga tergerus oleh pemukiman.

"Idealnya, penduduknya hanya 4 sampai 5 juta jiwa, setengah dari sekarang," kata Yayat. Namun statistik terakhir, kata Yayat, diperkirakan penduduk resmi Jakarta mencapai lebih dari 9,5 juta jiwa.

Solusinya, Ibukota Pemerintahan dipindahkan namun bukan dengan membangun kota baru. Membangun kota baru, kata Yayat, membutuhkan dana yang sangat besar. Jakarta tetap menjadi Ibukota Negara, namun pemerintahan mulai diredistribusikan ke daerah-daerah. "Misalnya ke Jonggol, Karawang, Kalimantan," katanya.

Haryo Winarso

Planolog Institut Teknologi Bandung ini bersikap, pemindahan Ibukota jangan berdasarkan faktor Jakarta yang macet dan semrawut saja. Memindahkan Ibukota tidak serta merta menghilangkan segala masalah yang ada di Jakarta saat ini seperti kemacetan.

“Karena kalau alasannya untuk mengurangi kemacetan itu emosional, jangka pendek dan itu tidak benar,” kata Haryo Winarso kepada VIVAnews, Rabu 4 Agustus 2010.

Menurutnya Ibukota tidak dapat pindah ke dalam lokasi berdekatan seperti Jonggol dan Karawang karena hal tersebut hanya akan memperpanjang kemacetan. “Karena orang-orang yang terlibat pemerintahan tetap tinggal di Jakarta sehingga akan tetap macet,” katanya.

Jika Ibukota tetap berada di Jakarta maka solusinya adalah pemerintah harus menerapkan manajemen transportasi massal yang baik dan mengeluarkan kebijakan yang tidak populis seperti pembatasan kendaraan pribadi dan menaikkan tarif parkir. “Jika transportasi massal telah baik dan adanya pembatasan kendaraan pribadi maka kemacetan dapat berkurang, hal ini telah diterapkan di negara-negara lain seperti Singapura,” ujarnya.

Sonny Harry B. Harmadi

Pakar demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini mendukung pemindahan Ibukota ke luar Jakarta dan bahkan ke luar Jawa. Sonny menilai, kepadatan penduduk dan pemusatan aktivitas yang terus meningkat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi menjadikan daerah ini tidak lagi ideal sebagai kandidat Ibukota baru Republik Indonesia.

"Jabodetabek, bahkan seluruh Jawa, sudah terlalu penuh karena 55 persen penduduk Indonesia ini berdomisili di Jawa," kata Sonny dalam dialog bertajuk 'Urgensi Pemindahan Pusat Pemerintahan' di gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu 4 Agustus 2010.

Jika pusat pemerintahan dipaksakan dipindah ke sekitar Jakarta, seperti Jonggol, Kabupaten Bogor, maka Sonny yakin hal itu hanya akan bertahan dalam waktu pendek, bukan untuk jangka panjang. "Itu seperti zero sum game, memindahkan masalah ke tempat lain tanpa menyelesaikan masalahnya," kata Sonny. Oleh karena itu, ia menilai kota di luar Jawa lebih ideal sebagai Ibukota baru RI.




Tata Mutasya

Peraih master di bidang manajemen pembangunan dari Universitas Turin, Italia, ini mendukung pemindahan Ibukota sebagai cara meratakan pembangunan. Tata menyatakan, perlu ada dobrakan atas sentralisasi pembangunan di Jawa khususnya Jakarta yang sudah terjadi sejak era kolonial.

"Selama ini tidak ada rekayasa ulang atas peninggalan kolonial itu," kata Tata dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis 29 Juli 2010.

M Jehansyah Siregar

Arsitek jebolan Institut Teknologi Bandung yang mendapat doktor di bidang perencanaan kota dari Universitas Tokyo ini mendukung pemindahan Ibukota. Namun, peneliti di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB ini menyatakan, memindahkan Ibukota diperlukan visi yang kuat yang disertai regulasi yang kuat setingkat Undang-Undang.

Indonesia perlu meniru model regulasi yang diterapkan oleh Malaysia untuk membangun Putrajaya. Jika regulasi setingkat Undang-undang di Indonesia telah siap maka secara simultan langsung dibuat badan yang berkompeten untuk membangun Ibukota baru guna menghindari berbagai konflik dan spekulan.

Menurut Jehan, tidak perlu membuka lahan baru untuk membangun Ibukota baru, melainkan cukup dengan melanjutkan pembangunan kota yang telah ada. Berdasarkan berbagai kajian yang telah ada, Kalimantan pulau yang telah siap secara infrastruktur dan secara geografis Kalimantan jauh dari pusat gempa dan gunung berapi.

Kebijakan pemindahan Ibukota harus segera dilaksanakan agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lain. Menurut Jehansyah saat ini Indonesia telah tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bahkan Ia memprediksi, Myanmar akan segera menyalip posisi Indonesia karena negeri itu telah lebih dahulu memindahkan Ibukota negara pada 2005 lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar