Selasa, 30 November 2010

KERUSAKAN ALAM


Kerusakan alam di dunia nyata adanya dan sedang terjadi saat ini. Dari kerusakan alam tersebut dapat menimbulkan pemanasan global atau biasa disebut dengan “ Global Warming”. Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Pada saat ini bumi menghadapi pemanasan yang cepat. Menurut para ahli meteorologi, selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat dari 15oC menjadi 15.6oC. Hasil pengukuran yang lebih akurat oleh stasiun meteorologi dan juga data pengukuran satelit sejak tahun 1957, menunjukkan bahwa sepuluh tahun terhangat terjadi setelah tahun 1980, tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990. Secara kuantitatif nilai perubahan temperatur rata-rata bumi ini kecil tetapi dampaknya sangat luar biasa terhadap lingkungan.
Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0.1 sampai 0.3ºC per dekade. Kenaikan suhu ini akan berdampak pada iklim yang mempengaruhi manusia dan lingkungan sekitarnya, seperti kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan.
Dari kenaikan permukaan air laut dari 8-30 cm, sebagai negara kepulauan, 2000 pulau-pulau Indonesia diramalkan akan tenggelam atau hilang. Kehilangan pulau-pulau tersebut merupakan ancaman dari batas dan keamanan negara. Seperti yang dilaporkan oleh WGII (Working Group II-Kelompok Kerja II), kenaikan permukaan air laut akan mengakibatkan 30 juta orang yang hidup di ekosistem pantai mengungsi dan Indonesia akan mengalami kerugian yang sangat besar.
Hujan akan diprediksikan menjadi lebih sering dengan intensitas curah hujan yang tinggi. bahwa akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan, sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah hujannya sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki potensi resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur pembangkit listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi  potensial ancaman banjir yang merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah. Pergeseran musim tersebut akan menjadi ancaman terbesar bagi sektor pertanian di Pulau Jawa dan Bali, penyebab turunnya 7-18% produksi beras.
Perubahan pola iklim akan menambah daftar panjang ancaman bagi Indonesia, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, serta badai tropis. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1,429 kasus atau 53.3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia.Di lain pihak, ketika musim kering melanda, bangsa ini menghadapi kemungkinan kekeringan yang berkepanjangan, untuk sektor kehutanan titik api akan semakin parah. Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula (kembali) menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang selama ini telah menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Mengacu pada kebakaran hutan pada tahun 1997/1998 yang menghilangkan lahan sebesar 9,7 juta hektar.Pada bulan September 2006 sendiri tercatat 26,561 titik api yang merupakan angka tertinggi sejak Agustus 1997 ketika sepanjang tahun 1997 tersebut tercatat “hanya” 37,938 titik api.Laporan ini mengatakan bahwa akibat itu semua, kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan menjadi besar, baik dalam level Nasional maupun kepada negara-negara tetangga.
Ini adalah masalah serius yang harus di tangani Bangsa Indonesia sendiri . Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia, meskipun perekonomian yang sedang berjuang – itu memiliki PDB per kapita $ 2.254 memasukkannya 107 di Bank Dunia 2008 peringkat dunia – telah memutuskan untuk memimpin lingkungan di bawah presiden Susilo Bambang Yudhoyono Untuk mengatur sebuah contoh, presiden baru-baru ini berjanji untuk memotong 26% dari emisi di Indonesia tahun 2020, dan hingga 41% jika negara-negara maju bersedia untuk menyediakan pendanaan yang tepat. Tapi, meskipun baru ditemukan di Indonesia antusiasme, jalan di depan masih menakutkan.
Ini sedikit fakta bahwa Indonesia, negara kepulauan dari 17.000 pulau dan lebih dari 200 juta jiwa, merupakan terbesar ketiga di dunia penghasil gas rumah kaca, hanya di belakang Amerika Serikat dan Cina. Negara ini adalah rumah bagi beberapa hutan tropis terbesar dan lahan gambut di dunia, yang menyerap sejumlah besar planet CO2. Terima kasih kepada yang tidak terkendali deforestasi dan degradasi hutan-hutan, Indonesia telah berhasil menjadi salah satu polusi terburuk di dunia, seperti karbon terkunci di pepohonan dilepaskan ke atmosfir. Menurut GreenPeace “penghancuran lahan gambut Indonesia sendiri menyumbang 4% dari manusia global akibat emisi gas rumah kaca.”
Bangsa Indonesia juga telah melakukan aksi nyata dalam menyikapi pemanasan global ini, ini dibuktikan dengan adanya kegiatan melakukan penanaman melalui program Kampanye Indonesia Menanam, Kecil Menanam Dewasa Memanen, Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Aksi Penanaman Serentak, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon. Dilanjutkan dengan adanya pertemuan internasional di Provinsi Bali yaitu Conference Of Parties (COP) 13 United Nation Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 3 s/d 14 Desember 2007 yang dihadiri oleh 103 negara dengan 9000 peserta.
Sebuah contoh penting adalah dibentuknya institusi nasional untuk mengatur Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). MPB dapat mengurangi emisi negara ini sampai 23-24 ton per tahun jika difungsikan secara efektif dan fungsional (berdasarkan studi strategi nasional 2001/02 untuk menganalisis pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan). Berikutnya adalah kebutuhan mendesak untuk mengarusutamakan strategi adaptasi bagi strategi pembangunan dan perencanaan pembangunan di sektor lokal maupun nasional. Tanpa perencanaan ini Indonesia akan mengalami kegagalan dalam pembangunan yang diakibatkan oleh bencana lingkungan.Di bagian mitigasi, Indonesia perlu mendesak negara-negara maju untuk memangkas emisi gas rumah kaca mereka jika masyarakat global ingin tetap berada di bawah kenaikan 2ºC, di mana Bumi masih akan mampu beradaptasi dari kenaikan temperatur tersebut.Namun bagi Indonesia masih diperlukan strategi yang implementatif dan tindakan yang nyata di beberapa sektor penting, karena kenyataannya sekarang belum ada koodinasi antar sektor yang komprehensif untuk selaras dengan Konvensi Perubahan Iklim dalam mengatasi masalah tersebut.
Jika langkah-langkah adaptasi dan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dapat dipersiapakan dan diimplementasikan dengan serius maka dapat menjadi sinyal positif bagi masyarakat bahwa Bangsa Indonesia siap menghadapi kemungkinan terburuk dari perubahan iklim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar